Well-Formed Problem

Written by Mariani Ng Posted in Mariani Ng on Sunday, 27 July 2014.

Well-Formed Problem

Kata ‘Well-Formed Outcome’ tidak asing bagi mereka yang sudah mengenal NS-NLP. Juga bagi mereka yang ikut pelatihan untuk goal setting, umumnya pada akhir tahun untuk menyusun target rencana bisnis tahun berikutnya. Well-Formed Outcome merupakan salah satu teknik untuk perancangan target (outcome) yang lebih terstruktur lengkap dengan rencana pelaksanaannya.

Lha, Well-Formed Problem? Problem setting? Merencanakan masalah?

(Terminologi ini dari buku ‘Change Management Excellence: Putting NLP to Work’ by Martin Robert ). 

Setiap orang pernah memiliki problem/masalah. Masalah tetap masalah, mau dirubah atau diartikan (reframing) dengan tantangan (challenge), kesempatan (opportunity); tetaplah masalah. Ada beberapa reaksi yang muncul ketika seseorang bermasalah. Ada yang langsung memvonis dirinya bermasalah dan langsung bingung tidak keruan, tidak melakukan apapun kecuali terus berpikir ‘kenapa begini?’ - masalah menguasai dirinya

Ada juga yang memvonis dirinya bermasalah dan terus berusaha mencari solusi untuk ‘memperbaiki diri’. Komputer yang sering ‘hang’ ditangani dengan sering ‘save’ dan ‘back-up’ data daripada mencari solusi memperbaiki komputernya. Lagi2, masalah menguasai dirinya. ‘Ini tantangan buat saya agar data selalu aman’, kira-kira begini pikiran orang bersangkutan.

Ada lagi, sekali bermasalah dianggap selalu bermasalah – lalu menyalahkan nasib. ‘Memang sudah nasib, selalu bermasalah’. Alhasil, ketika ada kesempatan yang muncul-pun akan dianggap sebagai masalah. Dengan kata lain, pesimis - negative thinking.

Dan masih banyak lagi reaksi-reaksi yang muncul ketika bermasalah. 

Semua ini muncul karena cara berpikir yang cenderung generalisir, menyamakan satu hal dengan hal lain. Kejadian hanya sekali dianggap telah terjadi berulang kali – selalu terjadi. Bila terjadi di satu tempat maka pasti akan terjadi di mana-mana.

Akibatnya muncul distorsi (penyimpangan dari kenyataan yang sebenarnya) dan deletion (mengabaikan beberapa fakta). Bahwa masalah terjadi karena ‘saya’ dan hanya ‘saya’ yang mengalami, padahal ada orang lain yang juga mengalami hal serupa. Masalah diidentifikasikan dengan jati diri sendiri dan selalu terjadi, permanen. 

Satu hal yang menarik dari sifat manusia, bahwa manusia ‘suka’ dengan masalah. Mau seoptimis apapun cara berpikirnya, ada kecenderungan melihat sisi resiko yang bakal terjadi. Saya setuju bila hal itu dikatakan sebagai waspada. Akan beda bila kemudian menjadi curiga, apalagi pesimis. Khusus untuk orang-orang yang demikian, maka saya sarankan untuk menjalani well-formed problem ini berikut ini:

1.Kenali apa masalahnya.

  • a.Bagaimana anda tahu itu bermasalah? Kata orang? Atau anda lihat/dengar sendiri?
  • b.Pahami masalah secara spesifik, tanyakan:’Apa masalahnya secara spesifik?’
  • c.Apakah masalah ini menjadi masalah? Menghalangi anda? Dalam hal apa?

Langkah pertama ini untuk men-spesifik-kan proses generalisir, ‘chunk-down’ dan klarifikasi masalah. Pada langkah awal ini bisa terjadi bahwa sebenarnya tidak ada masalah. Masalah muncul ketika dipermasalahkan.

 

2.Pisahkan masalah dari diri sendiri.

  • a.Kapan itu terjadi? Perhatikan jawabannya, selalu – sering (berarti hanya beberapa kali) – hanya waktu itu saja.
  • b.Siapa saja yang terlibat?
  • c.Dalam konteks apa?
  • d.Apa yang membuat hal bersangkutan menjadi masalah bagi anda?
  • e.Bagaimana anda bisa bertemu dengan masalah ini?

Perhatikan kata-kata yang diucapkan. ‘Menjadi masalah’ – ‘bertemu dengan masalah’ secara tidak langsung menjadikan masalah sebagai obyek yang terpisah dari diri pribadi.

 

3.Analisa masalah.

  • a.Apa arti masalah itu bagi diri anda?
  • b.Dari arti yang diberikan, apa yang perlu dilakukan untuk menangani masalah ini?
  • c.Bagaimana masalah ini menghalangi anda?
  • d.Bagaimana anda tahu bila masalah ini tidak terjadi?
  • e.Bagaimana pula anda tahu bila masalah ini sudah berhasil ditangani?
  • f.Apa yang perlu dilakukan?

 

Perhatikan bahwa pertanyaan 3b mirip 3f. Namun 3b mengacu pada spirit/semangat yang dirasakan, sedangkan 3f mengacu pada solusi. Umumnya 3f membutuhkan waktu lebih lama karena menyangkut rencana tindakan. Hindari kata tanya ‘mengapa’ karena kata ini mengajak seseorang untuk langsung asosiasi dan memperluas masalah. 

 

Jadi, bila anda merasa bermasalah – atau bertemu dengan orang-orang yang merasa bermasalah, berikan ucapan selamat karena mereka manusia alamiah, bisa merasakan masalah. Lalu ajak lakukan ‘well-formed problem’, merancang masalah dengan serius :-)

 

~ Saat kita tidak bisa merubah masalah yang terjadi, kita bisa merubah arti dan respon kita atas masalah tersebut ~

 

About the Author

Mariani Ng

Mariani Ng

She is a Founder of PT. METAMIND Tata Cendekia and the first woman in ASIA who is certified and licensed trainer of  NLP – NS trainings to provide International Certification of Meta-NLP Practitioner, International Certification of Master Practitioner.

Click here for detail

Why METAMIND?  read