What Next?

Written by Mariani Ng Posted in Mariani Ng on Thursday, 29 December 2016.

Ada 3 gaya preferensi berpikir manusia yang menentukan dalam aktifitas kerja sehari-hari, yakni yang bertanya ‘apa selanjutnya (what next)’, ‘bagaimana merealisasikan (how)’, dan ‘mengapa (why)’. 

 

Saya termasuk yang pertama, what next. Banyak maunya. Ide ini dan itu muncul sebelum yang lain selesai. Di pikiran saya sudah berjalan kalender 2019, sementara langkah kaki serasa sudah masuk Januari 2017 yang akan sibuk mempersiapkan ACMC Bali 16-23 Maret 2017 yang akan datang. Ini kekuatan sekaligus kelemahan saya, dimana saya terus berpikir ‘what next’ tanpa diiringi oleh derap langkah orang-orang yang menjalankannya, termasuk pula melakukan monitor dan periksa ulang hasil implementasi, apakah sesuai dengan yang telah direncanakan. Sering kali saya perlu berhenti, hanya sekedar untuk mengambil nafas dan evaluasi, sampai di mana ya implementasinya, atau bahkan, sudah dijalankan belum sih yang satu itu (?).

 

That’s why saya perlu bantuan, tidak bisa sendirian. Bantuan orang-orang yang sama visi untuk merealisasikan apa yang sudah direncanakan, mau membantu ‘ke-bumi-kan’, bukan ‘kebumikan (dimakamkan-maaf). ‘Ke-bumi-kan’ dalam bahasa Inggris disebut ‘grounded’ alias membuat jadi nyata (konkrit) dan terukur, tidak hanya sekedar konseptual apalagi wacana belaka. That’s why pula mengapa saya begitu menyadari kelemahan saya ini sehingga ketika ada yang berbicara di tataran konseptual, saya akan minta action nyatanya, karena saya sendiri sangat amat hobi di tataran konseptual itu dan berwaspada ria agar tidak tertarik kembali ke sana, agar balance. 

 

 

 

Balance, keseimbangan ini sangat penting. Seperti saya sebut di atas, ‘Ke-bumi-kan’, tidak boleh dibaca ‘kebumikan’ yang berarti dimakamkan, karena kalau kita tidak menemukan orang yang tepat, semua ide, usul dan pandangan visioner ke depan hanya akan dikubur hidup-hidup bersama dengan semangat dan jiwa yang membara tadi. Contoh sederhana, ketika kita berpikir untuk mencapai apa yang kita inginkan, penyeimbang muncul dengan berpikir apa yang perlu kita antisipasi untuk mencapai tujuan tersebut, lengkap dengan perhitungan resiko dan konsekuensi-konsekuensi. Satu sisi hal ini bisa menjadi penyeimbang yang baik karena bukan tidak ada konsekuensi2 yang ditemui nanti, namun satu sisi merasa seperti ‘idealisme terpasung’, bisa benaran menjadi ‘kebumikan’ alias tinggal impian kosong belaka akibat terlalu banyak pertimbangan-pertimbangan tadi. ‘What next’ mau sebanyak apapun jadi percuma. 

 

Dengan kata lain, orang yang berpikiran ‘What next’ ini perlu diiringi oleh keberanian untuk maju, bukan ‘what next’ dan lantas muncul pikiran atas konsekuensi demi konsekuensi  yang pada akhirnya jadi terpasung sendiri. Beberapa hal yang perlu diwaspadai bila termasuk orang yang cendrung ‘what next’ adalah apakah juga punya keberanian untuk maju atau hanya alih-alih memikirkan konsekuensi sehingga berakhir dengan kecewa dan frustasi. Hal yang kedua perlu diwaspadai adalah kemampuan untuk menterjemahkan bahasa-bahasa langit menjadi bahasa bumi yang bisa dimengerti oleh orang-orang di pasar sayur sekalipun. Tertata rapi, ada prosedur dan terukur, plus dengan bahasa yang sederhana pula. Karena umumnya orang yang suka berpikir ‘what next’ kaya dengan wacana namun tidak mampu menjalankannya karena kurang sederhana tadi.

 

Bagaimana dengan mereka yang berpikir tentang bagaimana merealisasikan (how)?

Banyak aktivitas dan langkah ingin dilakukan, sama seperti di atas yang berpikir ‘what next’, orang yang ‘how’-pun ikut berpikir deras tentang apa rencana kerja aktivitas ini itu yang kemudian jadi hantam kromo bila tidak ada panduan dan tujuan nyata. Oh .. mereka akan marah kalau dibilang tidak punya tujuan. Karena mereka merasa punya, dan merasa pula sangat jelas atas apa yang diinginkan. Hanya perasaaan? No!! Mereka juga bisa visualisasi membayangkan dengan sangat jelas apa yang ingin dilihat dan ingin dicapai. Terutama seiring dengan banyaknya orang yang mengenal NLP sekarang ini, visualisasi itu penting. Bayangkan apa yang anda mau capai lalu buat action plan. That’s it. Lalu lakukan aktivitas sesuai dengan rencana kerja tadi, follow the leader follow the systems. Bersyukur kalau masih ada yang mau follow the leader atau follow the systems atau follow apapun yang pada intinya bersedia menjadi follower. 

 

Karena pada dasarnya orang-orang yang berpikir tentang bagaimana merealisasikan (how) perlu menjadi follower yang baik yakni berdasarkan trust atas apa yang sudah dikonsepkan bersama oleh si ‘what next’ tadi. Dan tentunya, ketika sudah dimusyawarah-mufakatkan untuk dijalankan bersama. Again, seorang ‘how’-pun tetap perlu rendah hati untuk menyeimbangkan diri dengan orang-orang yang sudah kepalang mem-visi-kan, dan orang-orang yang sevisi. Celakanya, ketika orang yang bertendensi ‘how’ ingin beralih menjadi memimpin tanpa dilengkapi oleh pikiran dan mental ‘visi’oner. Ketika ada rencana kerja dikira itu visi, ketika ada tujuan-pun dianggap itu visi. Alhasil visi tercapai begitu rencana dijalankan, rencana tidak dijalankan berarti visi tidak tercapai. Begitukah?

 

Beralih ke mereka yang tendensi bertanya ‘mengapa (why)’. Orang-orang ini suka periksa, evaluasi dan memastikan semua berjalan dengan baik. Setiap hal diperiksa alasan sebab musabab sampai masuk diakal dan sesuai mencapai tujuan. Masalah muncul ketika seseorang sangat pintar dalam memeriksa, evaluasi tapi tidak tahu apa yang sedang dituju. Secara alamiah mereka cerdas melihat kesalahan atau apa yang tidak sesuai, orang-orang di sekitar selalu salah dan tidak sesuai harapan. Bahasa kerennya, ada ruang perbaikan. Tujuannya baik, agar sesuai standard. Pertanyaan muncul, sesuai standard-nya siapa? Karena sering hanya persepsi pribadi tanpa diiringi oleh fakta-fakta terukur. Kepuasan muncul ketika sesuai tujuan, tujuan pribadi maupun tujuan bersama. Sangat ideal.

 

Dalam pengalaman saya selama hampir 9 tahun menjadi IDENTITY COMPASS (mindset assessment) Consultant yang bergelut dalam gaya preferensi berpikir ini, orang-orang yang ‘why’ suka bertanya ‘mengapa begini’, ‘mengapa begitu’, ‘’kan harusnya tidak terjadi’, tanpa tahu apa solusi terbaiknya. Sementara orang-orang yang ditanyai sudah terkeok-keok frustasi merasa disalahkan, malas lagi berpikir sehat mencari solusi terbaik. Di sini, lagi-lagi, seorang ‘why’ perlu sadar diri pula untuk tidak selalu menjadi kritisi saja. Mau rendah hati menghargai proses yang telah dilakukan dan membantu cari keping yang hilang. Apa di tataran ketidakjelasan tujuan yang ingin dicapai, atau di tataran ketidakmampuan dalam merealisasikannya.

 

So .. kita termasuk yang mana?

 

Di atas saya merasa sangat yakin bahwa saya termasuk yang ‘what next’, karena memang selalu berpikir apa yang mau dicapai ke masa depan. Bahkan sudah sangat jelas tahapan (road-map)  yang perlu dilakukan menuju ke tahun 2020. Saya sudah pikirkan tim mana yang perlu dibangun, tim yang bagaimana yang perlu dibentuk, bagaimana caranya dan apa pula evaluasi plus konsekuensinya. Hahhh .. bukankah ini termasuk ‘how’ dan juga ‘why’? Terlebih ketika sambil tentang ‘how’ dan juga ‘why’ di atas, sayapun merasa ketiga-tiganya. Bersyukur saya bisa fleksibel di antara ketiganya. Tapi tanda bahaya pula. Karena ketika saya mampu melakukan tiga-tiganya, jadilah saya ‘one man show’, ‘single player’. Bandingkan dengan ‘team-work’ atau ‘team-player’.  Ibarat buka restoran, saya yang akan mencatat pesanan menu dari tamu, memasaknya, hingga terima bayaran dan cuci piring sendiri. Selesai. Tentu bukan ini yang saya inginkan. Mungkin tamu senang karena dilayani langsung oleh pemilik restoran, menikmati masakan yang dimasak langsung oleh pemilik restorannya lagi. Tapi, apa kuat fisik badan ini? Bagaimana dengan juru masak, pramusaji dan kasir yang siap dengan kehandalan masing-masing? Dan sejujurnya, menurut saya, saya perlu kembali pada gaya preferensi yang menjadi kekuatan saya. Fokus dan biarkan yang lain yang bekerja untuk menyeimbangkan. 

 

Anda termasuk yang mana?

Kenal dirimu sendiri dan siapkan untuk songsong 2017 yang tinggal 2 hari lagi.

 

 

29 Desember 2016

About the Author

Mariani Ng

Mariani Ng

She is a Founder of PT. METAMIND Tata Cendekia and the first woman in ASIA who is certified and licensed trainer of  NLP – NS trainings to provide International Certification of Meta-NLP Practitioner, International Certification of Master Practitioner.

Click here for detail

Why METAMIND?  read