Being Happy (1)

Written by Mariani Ng Posted in Mariani Ng on Friday, 25 July 2014.

Being Happy (1)

Saya baru mengikuti upacara wisuda di salah satu universitas di luar negri beberapa hari lalu dan memperoleh inspirasi untuk menulis artikel ini. Di awal upacara, Rektor  universitas tersebut mengawali pidatonya dengan mengatakan bahwa ketika merancang pidato untuk upacara wisuda itu, beliau ditawari dengan berbagai pilihan topic. Pilihan pertama, tentang sepakbola yang sedang ramai dibicarakan. Beliau menolak, karena merasa kurang tahu tentang sepakbola ini. Lalu pilihan kedua, tentang kompetisi pasar yang akan dihadapi para alumnus di masa kini. Beliau berpikir dan kemudian menolak lagi, karena beliau yakin para alumni sudah tahu dan mempelajari betapa kompetitif-nya permintaan pasar saat ini, dan tentunya sudah bersiap siaga menghadapi keadaan ini. Dan yang paling menarik buat saya adalah pilihan ketiga yang akhirnya menjadi topic pidato hari itu, BEING HAPPY.

 

Topik yang sangat sederhana, tapi mendalam.

Di jaman percepatan informasi saat ini, dimana setiap individu saling berlomba untuk menang dan berprestasi tinggi, sekolah mencari ilmu sampai bergelar tinggi, bekerja siang malam mencapai kedudukan tinggi dan nama baik yang diakui sebagai eksistensi diri .. ada satu hal yang dilupakan, yakni kembali menjadi manusia apa adanya. Kembali pada nilai yang paling hakiki, yang mendasari semua kerja keras dan kejar prestasi selama ini .. bahagia.

 

Betapa tidak. Lihat saja bagaimana setiap tahun para orangtua sudah mendaftarkan putra-putrinya yang masih sangat kecil untuk sekolah, belajar bersosial katanya, atau agar suka bersekolah. Kualitas bermain di masa kanak2 mulai tesisihkan untuk belajar di sekolah dengan judul sambil bermain. Kreativitas yang umumnya ditemukan seorang anak lewat eksplorasi diri di alam sekitar mulai berkurang seiring dengan tuntunan dan panduan guru di sekolah bermain. Lalu kemudian setiap tahun orangtua berusaha memacu anak agar rajin dan pintar, memicu mereka agar menjadi juara satu, kalau tidak juara kelas ya juara nyanyi, juara nari, juara gambar dan apapun yang pokoknya masih bertitelkan juara. Siapa yang bangga? Ayah dan bunda.

Lalu orangtua-pun sibuk mencari uang agar putra-putri tercinta bisa masuk sekolah favorit. Entah atas rasa bangga karena life-style, atau karena mutu pendidikan yang diharapkan. Yang jelas, selalu tersungging senyum tersendiri setiap kali orangtua menyebutkan putra atau putrinya lulus dari sekolah favorit tertentu. Mudah2an itu tanda bersyukur dan mensyukuri.

 

Hingga pada akhir universitas, ketika setiap alumnus berpakaikan jubah panjang dan toga di kepala, naik panggung dan menerima sertifikat dan ucapan selamat, pengetahuan itu seakan telah siap mendukung mereka untuk menghadapi masyarakat dan dunia nyata di luar akademisi. Begitukah?

 

Ternyata tidak. Terlepas dari apa pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki melalui serangkaian studi dan pengalaman intelektual, ada satu ketrampilan yang perlu dan wajib dimiliki oleh setiap orang bila mau bertahan hidup dan bahagia, yakni ketrampilan untuk hidup itu sendiri. Life skills.

 

Apa saja life-skills itu?

-         Ketrampilan berkomunikasi interpersonal.

-         Ketrampilan bersosialisasi.

-         Kemampuan adaptasi.

-          Dan masih banyak lagi .., termasuk sub-sub di masing2 ketrampilan tersebut di atas.

 

Ketrampilan yang tidak kita pelajari di bangku sekolah, juga tidak ada gelar juaranya. Tidak pernah ada wisuda atas ketrampilan2 itu, juga tidak pernah ada kata cukup untuk pengetahuannya. Karena ketrampilan2 tersebut kita pelajari dari fakultas kehidupan, dari pengalaman, dari kerendah-hatian untuk mengamati, memahami dan mempraktekkan. Saya terkaget-kaget ketika salah seorang dari yang berbaju toga di panggung sana saat menerima sertifikat mendadak berbalik badan dan foto ‘selfie’ dengan kamera HP-nya di tangan. Gubrakk .. sang Rektor terkesima dan sipu merah dibuatnya.

 

Dulu ketika saya sekolah ada pelajaran Budi Pekerti, ada pelajaran agama yang mengajarkan tentang tata nilai kemanusiaan, menghargai dan menghormati sesama. Sekarang pelajaran tersebut telah dihapuskan. Pelajaran agama lebih banyak menghafal ayat demi ayat tanpa belajar memaknai nilai2 luhur kemanusiaan di baliknya. Tidak heran kemudian sekarang ini banyak orang taat beribadah tapi lupa etika bersosial, saling menyakiti dan menjatuhkan

satu sama lain. Baru selesai beribadah langsung ribut karena tersenggol teman seiman yang juga saling berdesak ria mau keluar dari ruang ibadah.

 

Manusia masih terus berebut ingin menjadi juara. Tanpa disadari bahwa yang dihadapi dan dilombakan adalah dengan sesama rekannya, atau saudara, atau keluarga, bahkan orang2 tercinta. Ketika menang, siapa yang dikalahkan? Ketika kalah, semakin tertantang dan bermotivasi untuk menghadapi orang yang dimaksud, lupa bahwa itu adalah rekank, saudara, keluarga, orang tercinta. Akhirnya, individu lawan individu, pihak tertentu menghadapi pihak tertentu. Seluruh pikiran dan perasaan hanya berfokus pada bagaimana agar menjadi yang terbaik, menang atas lawan tanpa menyadari perubahan di sekitar. Perubahan social, perubahan ekonomi, perubahan alam, perubahan budaya. Dan waktu terus bergulir, perubahan terus terjadi. Siapa yang ketinggalan akhirnya?

 

Being happy.. salah satu dari proses aktualisasi yang semakin hari hendaknya semakin kita sadari. Karena ternyata bahagia itu mahal. Lebih mahal dari sebuah eksistensi diri yang dikejar dan dilombakan. Kita lihat banyak orang sukses dan kaya raya tapi tidak bahagia. Banyak orang yang selayaknya sudah cukup puas atas apa yang diperoleh tapi masih merasakan ketidakpuasan dan terus berharap sambil berdoa .. mudah2an tidak menyalahkan nasib atau Sang Pencipta ketika merasa doanya tidak terujud. Karena sebenarnya semua sudah di tangan, fulfilled dan accomplished.

 

Being happy, bukan doing happy.

To do happy, kita perlu melakukan sesuatu agar bahagia.

To be happy, kita merasa bahagia, itu saja.

Ada orang yang merasa baru bahagia kalau sudah sukses.

Atau baru merasa bahagia kalau sudah mencapai suatu harapan tertentu.

Bahagia bersyarat, namanya. Conditional happiness. Jangan2, conditional beingness :-b

 

Saat ini NS sedang dalam dekade Human Potential Movement, mengajak kita semua untuk beraktualisasi diri. Aktualisasi diri, bukan menjadi seorang superman or super human, manusia yang serba (serba ada, serba kaya, serba tahu ..), tapi justru just simply being a human, cukup hanya menjadi manusia biasa saja .. apa adanya, lengkap dengan kelebihan dan kekurangan. Plus, berani mengakui kekurangan sama seperti mengakui kelebihan2nya, tidak

menutupi kekurangan apalagi mengingkari. Beranikah?

 

Tidak semua orang mampu aktualisasi diri, tidak berani. Karena dalam proses aktualisasi diri, ada proses unconditional positive regard (mampu senantiasa bersyukur tanpa syarat), ada brutal facts yang perlu diterima, ada acceptance (penerimaan apa adanya), ada keberanian untuk mengaku salah dan kalah tanpa berusaha membalas sedikitpun. Bisa demotivasi, bisa frustasi, bisa merasa takut, bisa merasa marah dan kecewa. Bedanya, orang yang dalam proses aktualisasi menerima semua rasa itu sebagai hanya sebuah rasa, mengijinkan diri untuk merasakan demotivasi, frustasi, takut, marah dan kecewa tanpa berusaha untuk mengingkari apalagi menjauhinya. Just duduk sejenak bersama dengan rasa2 tidak menyenangkan itu, tidak malah berjuang dan menimbulkan konflik batin yang justru semakin menenggelamkan diri dalam depresi yang lebih dalam.

 

Just duduk tenang mengenali, memahami, introspeksi diri dan kemudian bangkit lagi. Itukah bahagia? I don’t know. Silakan mengundang diri mengalaminya sendiri. Yang jelas pidato Pak Rektor meng-inspirasi saya untuk menuliskan ini. Pidato yang bersiratkan betapa seseorang sering suka ikut2an arus yang sedang nge-trend (sepakbola, misalnya) tapi tidak ada pengetahuan sama sekali atas yang sedang nge-trend itu, akhirnya hanya ikut2an, lose self dan jadi follower, tanpa arah tanpa tujuan kecuali hanya ikut2an. Ketika trend-nya hilang, jadi apa dong? Pilihan kedua menyatakan pikiran logika yang sangat actual tapi retorika. Up to date dan intelektual, namun hanya akan menjadi basa basi wacana tak penting.

 

Being happy .. bekal yang apik untuk para alumnus, juga buat kita2 yang sudah lulus sekian lama, yang mengaku sudah dewasa dan makan asam garam sekian lama. Bahwa tidak peduli setinggi apapun kita bersekolah, pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan sebanyak apapun, ingat pada tujuan yang paling hakiki, bahagia. Dan ternyata bahagia adalah life skill, ketrampilan untuk hidup, yang hidup dan menghidupi. Sudahkah kita miliki?

 

Jakarta, Juli 2014.

 

About the Author

Mariani Ng

Mariani Ng

She is a Founder of PT. METAMIND Tata Cendekia and the first woman in ASIA who is certified and licensed trainer of  NLP – NS trainings to provide International Certification of Meta-NLP Practitioner, International Certification of Master Practitioner.

Click here for detail

Why METAMIND?  read