Cogito Ergo Sum

Written by Mariani Ng Posted in Mariani Ng on Tuesday, 12 July 2016.

Cogito Ergo Sum

Kalimat pendek ini pertama kali saya baca dari seorang sahabat yang menulisnya di email. Lama kelamaan saya jadi tertarik dengan kalimat ini, bukan karena sahabat saya tadi, juga bukan karena banyak orang yang mengucapkannya. Tapi karena banyak sudut pandang yang menyuarakan kesamaan dengan makna yang diberikan. Cogito ergo sum, yang bermakna 'saya berpikir maka itu ada'.

Apa hubungannya dengan kita? Kita sering mendengar bahwa manusia diciptakan dengan penuh potensi, bahwa setiap manusia memiliki potensi yang tinggi, bahwa setiap orang perlu mengembangkan potensi yang dimilikinya seoptimal mungkin, dan oleh sebab itu perlu senantiasa berpikir positif dan terbuka (positive thinking and open-minded).

Apakah semudah itu?
Apakah semudah menyebut saja lalu kita bisa berpikir positif dan terbuka?
Jawabannya adalah ya dan tidak.

Ya, ketika kita sepenuhnya menyadari dan memegang kendali atas cara berpikir diri sendiri. Semua itu akan semudah kita mengatakannya, be positive thinking – be open-minded.

Tapi semua itu akan sia-sia dan menjadi semakin kompleks ketika kita mulai meragukan, apa semudah itu? Suatu keraguan yang sudah ada semenjak kita lahir, seperti halnya ketika kita ragu menahan badan dengan kaki dan mencoba berdiri dengan tegak. Seperti halnya ketika kita berusaha berjalan walau tertatih-tatih sambil berpikir, jatuh tidak ya? Saat kita berusaha menahan keseimbangan badan agar tidak terjatuh, ketika mulai berpikir secara sadar bahwa bila kaki satunya yang sudah mantap menahan tubuh itu diangkat dan melangkah ke depan, apakah kaki yang satunya lagi sanggup menahan tubuh agar tidak jatuh? Apalagi kalau kaki yang menahan itu mulai goyah!

Toh akhirnya kita mampu berjalan, bahkan berlari!

Itulah manusia.
Tidak heran ketika saya bertanya .. kita lebih banyak mengatur otak kita atau diatur oleh otak kita, banyak yang menjawab EGP, emang gua pikirin!

Tapi sekarang sudah saatnya untuk mulai berpikir, how to run our own brain.
Sebagaimana yang sering saya katakan dalam setiap pelatihan, bahwa berpikir bukan lagi rutinitas biasa, berpikir bukanlah spontan apa adanya. Berpikir adalah suatu ketrampilan, suatu keahlian yang bisa dilatih sesuai dengan kemauan kita. Jadi, mulailah dengan terlebih dahulu mengenal ada apa dalam pikiran kita.

Pada bumi yang sudah cukup sibuk ini, tentu kita tidak perlu berpikir seruwet itu. Berpikir tentang berpikir. Untuk apa berpikir tentang cara kita berpikir ketika kita mau makan, ketika kita sedang berpikir atas sesuatu. Bayangkan, anda sedang berpikir tentang bagaimana anda akan berpikir tentang suatu rencana. Weleh .. weleh…

Berpikir tentang berpikir ini perlu ketika muncul permasalahan, hanya ketika muncul masalah. Ingat, masalah itu muncul jika dipermasalahkan. Kalau begitu, mana yang duluan, masalah dulu atau mempermasalahkannya?

Ketika anda sedang berpikir tentang masalah, maka anda telah mempermasalahkannya. Dan ketika anda sedang bermasalah dengan masalah tadi, anda benar-benar telah berada dalam masalah.

Bingung?
Yes .. karena memang orang bermasalah itu selalu bingung, dan karena bingung itulah anda berusaha mencari jalan keluarnya. Tapi ada juga orang yang suka bingung, lalu bingung kenapa kok dia bingung terus tidak ada habisnya, makanya dia jadi kebingungan.

Contoh yang paling sederhana adalah orang yang dikatakan gila atau tidak waras. Mereka tidak merasa bermasalah karena memang tidak pernah mempermasalahkan kewarasannya, justru kita yang waras ini yang mempermasalahkan ketidakwarasan mereka. Akibatnya kita yang bermasalah ketika bertemu dengan mereka, menghindar, takut, jijik .. dan lain sejenisnya.

Ujung-ujungnya adalah, the map is not the territory!
Ini adalah presupposition pertama bagi NLPers, ayat no. 1 dalam pedoman NLP. Padahal kalau mau diruntut, sama dengan teori eksistensi yang mengatakan bahwa kosong itu isi dan isi itu kosong. Sama seperti ajaran Budha yang mengatakan bahwa semua itu hampa belaka. Sama seperti teori quantum physics yang mengatakan bahwa semua itu berawal dari pikiran kita yang menjadikannya nyata. Dan akhirnya, sama dengan kalimat pendek di awal penulisan ini, cogito ergo sum. Atau sama dengan omongan banyak orang, hidup ini hanya ilusi!

Ilusi semacam apa yang anda inginkan untuk hidup yang hanya sekali ini?

Untuk hidup yang hanya sekali ini?
Tentu anda ingin yang terbaik, karena hidup ini tidak bisa berulang.
Ya, karena hidup ini tidak berulang – banyak orang yang mengartikannya sebagai hanya satu kesempatan. Dan kesempatan ini perlu dimanfaatkan sebaik mungkin. Kata sebaik mungkin ini sering membuat saya merinding, karena ketika menjadi yang ‘terbaik’ orang jadi lupa apa yang menjadi ‘tidak baik’. Ketika menjadi kaya, orang lupa bagaimana rasanya miskin. Ketika orang ingin sukses, tidak ada lagi dalam kamusnya kata ‘susah’ dan lupa akan proses yang perlu dilalui. Akibatnya, begitu mengalami sedikit susah mereka sudah merasa tidak sukses alias gagal. Ketika belum kaya mereka sudah merasa miskin. Ketika belajar tentang yang baik mereka langsung memvonis ada yang tidak baik atau jahat.

Benar hidup ini hanya ilusi, bahkan kata ‘cogito ergo sum’ sendiri memberi banyak penafsiran. Saya berpikir maka itu ada, saya berpikir itu ada maka ada, atau saya ada karena berpikir? Ha..ha..ha.. lagi-lagi, untuk satu kalimat pendek saja orang bisa berargumentasi. Padahal kalau kita mau lebih menyadari, semuanya benar adanya - tergantung dari mana anda mau memulai.

Kembali pada pertanyaan di atas, 'bila hidup ini memang ilusi, ilusi macam apa yang anda inginkan untuk hidup ini?'.

Banyak orang menginginkan keberhasilan, sukses! Sukses menjadi tujuan nomor satu, berebut dengan kata 'sehat'. Umumnya kedua kata ini selalu menempati 2 peringkat utama bila berada dalam deretan pilihan tujuan yang diinginkan. Tapi pada intinya, apa arti dan nilai kedua kata tersebut bagi pribadi yang bersangkutan?

Kembali lagi hanya ilusi, karena jujur banyak orang hanya bercermin pada kesuksesan dan sehatnya orang lain. Atau juga pada keadaan fisik dirinya yang cukup sehat alias tidak sakit dibandingkan orang lain, dan juga tidak segagal orang lain.

Semuanya hanyalah sebuah acuan atas keberadaan orang lain, dan atas diri sendiri – umumnya atas diri sendiri dari masa lalu hingga sekarang. Tepatnya, tidak ada konsep pasti atas apa kesuksesan dan kesehatan yang akan menjadi kenyataannya di masa mendatang.

Semua ini membuktikan bahwa apa yang kita lakukan adalah hanya dalam bentuk konsep pemikiran. Apa yang kita pikir nyata sebenarnya tidak nyata, tapi kita berusaha menjadikannya nyata, menganggapnya nyata – atau malah kita menerima kenyataan bahwa apa yang kita pikirkan adalah kenyataan. Bahwa the map is territory.

Bila demikian, berarti apa yang kita pikirkan sangat penting – mengatur seluruh proses kegiatan kita sehari-hari. Secara sederhana hal ini dapat dibuktikan bila anda mulai berpikir atas sesuatu hal yang menyenangkan, tanpa sadar bibir anda akan menyunggingkan senyum'kan? Mari berpikir tentang sesuatu yang meresahkan ... ups, hampir menarik nafas panjang? Respon yang diberikan memang spontan, tapi bukan berarti apa yang kita pikirkan juga spontan adanya. Anda yang sengaja berpikir demikian - sesuai instruksi tadi'kan?

Kalau kita bisa mengatur pikiran kita, mengapa tidak kita atur saja agar apa yang kita pikirkan senantiasa mendukung produktifitas kita? Mendukung keberhasilan kita agar hidup yang hanya satu kali ini tidak sia-sia? Agar hidup yang tidak akan berulang lagi nanti akan penuh makna? Agar 10 tahun mendatang, kita akan merasa bangga atas apa yang telah kita lakukan hari ini.

About the Author

Mariani Ng

Mariani Ng

She is a Founder of PT. METAMIND Tata Cendekia and the first woman in ASIA who is certified and licensed trainer of  NLP – NS trainings to provide International Certification of Meta-NLP Practitioner, International Certification of Master Practitioner.

Click here for detail

Why METAMIND?  read