Pemaknaan

Written by Mariani Ng Posted in Mariani Ng on Monday, 20 December 2021.

Manusia melakukan pemaknaan setiap waktu dalam hidupnya. Terkesan filosofis? Mari kita ubah saja kata pemaknaan ini menjadi 'memberi arti'.

Kita selalu memberi arti atas setiap hal.
Lampu merah di persimpangan jalan, artinya semua kendaraan wajib berhenti. Lampu hijau artinya kendaraan jalan. Matahari baru terbit berarti sudah pagi, matahari terbenam berarti mulai malam.

Pernahkah kita sadari dari mana kita belajar arti-arti yang kita berikan? Saya yakin kita bahkan tidak pernah meragukannya, karena arti atau pemaknaan tersebut telah diajarkan (kalau tidak mau sebut ditanamkan) sejak kita kecil. Arti-arti tersebut diberikan berdasarkan konsep yang telah disepakati bersama secara umum. Bahkan beda konteks bisa beda arti pula. Warna merah lampu pada persimpangan jalan beda artinya dengan warna merah pada kartu yang dikeluarkan oleh wasit di pertandingan sepakbola. Semakin banyak pengetahuan (dari pengalaman, kata orang, hasil belajar), semakin kaya pula arti yang bisa diberikan. Orang yang sedang berbaju warna merah dibilang 'awas, lg panas emosinya' :-D

Semakin dewasa kita mulai bisa memilah dan memilih arti yang kita berikan. Kita mulai menyaring mana yang benar mana yang salah, bahkan kemudian kita belajar bijak untuk memberi arti. Yang sekarang banyak disebut sebagai pemaknaan.

Kita galau karena makna yang kita berikan.
Kita bermasalah karena kita memaknainya sebagai masalah.
Kita marah besar karena makna yang kita berikan pada kejadian itu.

Semua pernyataan di atas benar adanya. Namun kasihan si kata 'makna' atau 'pemaknaan' ini karena kemudian selalu dianggap sebagai penyebab. Terlebih lagi kemudian secarik kain biru dimaknai sebagai kain putih yang diwarnai biru. Atau ketika ada perilaku yang salah dimaknai bahwa perilakunya benar dengan cara pandang yang berbeda. Lalu kemudian bahas soal sudut pandang manusia yang berbeda-beda, bahas soal setiap orang bebas memberi makna.

Diam. Termangu merenungi keadaan ini.
Apakah sebuah proses alamiah manusia yang sederhana ini membantu atau malah jadi alasan untuk denial?
Apakah semakin pintar seseorang memberi pemaknaan lantas bisa memutarbalikkan hitam menjadi putih atau putih menjadi hitam?

Saya pernah beberapa saat berhenti mengajarkan tentang pemaknaan ini. Mengamati, mencermati dan kemudian merenungi, apakah efeknya bilamana ini diteruskan?

Saya setuju (dengan amat sangat) bahwa kita perlu bijak dalam memaknai setiap keadaan.
Saya sepakat bahwa setiap manusia perlu tahu adanya proses alamiah berpikir ini dan kemudian belajar bagaimana memaknai.
Tapi sangat tidak setuju bilamana kemudian dipakai sebagai denial atau hanya sekedar menghibur diri.

Be realistic.
Jangan atas nama positive thinking maka semua hal semua keadaan serta merta diartikan secara positif. Mari kita pilah kapan perlu memaknai dan kapan tidak.

Kalau memang salah ya katakan salah.
Kalau memang buruk ya katakan buruk.
Baru kemudian kita memilih bagaimana mensikapinya. Untuk pilihan mensikapi inilah kemudian kita mulai memilih makna apa yang kita berikan. Langkah demi langkah. Tidak langsung diubah arti begitu saja.

Saat sedang gagal. Alangkah baiknya kalau mengakui bahwa saya memang gagal dan ijinkan diri untuk merasakan kecewa sejenak, terima (acceptance) bahwa saya gagal. Baru kemudian memberi pemaknaan bahwa gagal adalah umpan balik, gagal berarti belajar lagi. Baru kemudian mulai mencari di mana letak penyebab kegagalan tersebut agar saya bisa belajar untuk tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama. Bukankah ini akan lebih memanusiakan diri sebagai makhluk yang bukan hanya pintar berpikir namun juga bisa merasakan?

Kadang ada perasaan miris dan prihatin ketika melihat seseorang sangat cerdas memaknai sehingga semua hal menjadi mudah, tinggal 'klak klik' tanpa ada ijin untuk memahami fakta sebenarnya, apalagi merasakan.

Sebenarnya, ketika semakin cerdas kita memaknai, apakah semakin memberdayakan atau malah membohongi diri?

Bila kita memang sedemikian besar keinginan beraktualisasi diri sesuai paham Abraham Maslow as a human being, beranikah kita menghadapi fakta secara realistis tanpa buru-buru memaknainya secara berbeda?

Catatan: Tulisan ini bukan mengajak untuk berhenti memaknai, tapi lebih realistis dan bijak menjalaninya.


Burlington, 19 Desember 2021
Mariani
METAMIND
Meta Coach

About the Author

Mariani Ng

Mariani Ng

She is a Founder of PT. METAMIND Tata Cendekia and the first woman in ASIA who is certified and licensed trainer of  NLP – NS trainings to provide International Certification of Meta-NLP Practitioner, International Certification of Master Practitioner.

Click here for detail

Why METAMIND?  read