Siapa Saya – Sebuah Identitas Diri

Written by Mariani Ng Posted in Mariani Ng on Thursday, 18 February 2021.

Siapa saya? Pertanyaan sederhana, yang bisa dijawab dengan sederhana pula. Sebut saja nama diri. Cukup itu jawabannya. Namun apakah nama itu adalah saya? Glekk.. kok jadi ribet. Yang jadi ribet adalah ketika ada yang merasa tidak kenal dirinya sendiri. Dan lebih ribet lagi ketika seseorang merasa sangat mengenal dirinya sendiri sampai tidak ada yang bisa memberi masukkan ketika salah.

Pada awal-awal METAMIND berdiri, saya sering bertanya pada diri sendiri, ‘siapa saya?’. Sebuah pencarian diri ketika terombang-ambing dalam ketidakpastian untuk meneruskan Neuro-Semantics atau tidak di saat itu. Sebuah usaha pemastian diri bahwa ini bidang yang ingin saya tekuni, di samping keinginan untuk menjadi istri dan ibu rumah tangga murni. Dilema di antara pilihan menjadi bunda 2 orang putri yang sedang beranjak remaja di masa itu, atau menjadi profesional yang meneruskan pembelajaran NS saya ke lebih banyak orang di bumi Nusantara ini.

Siapa saya menjadi begitu penting saat itu. Semangat mencari, kemudian frustrasi dan kecewa karena merasa tidak menemukan jati diri. Hingga pada satu titik saya bertanya pada Tuhan dalam doa, siapa saya. Apa yang diinginkan Tuhan atas saya di dunia ini. Dan itulah titik baliknya. sejak itu saya berhenti bertanya ‘siapa saya’, berganti dengan ‘apa yang saya lakukan di dunia ini’. Itu terjadi di sekitar tahun 2006-2007. Ya sudah deh.. akhirnya saya jadi tenang, tidak lagi mencari tahu siapa saya tapi untuk apa saya dilahirkan dan apa tugas saya di dunia ini.

Apakah saya lantas begitu tenang tanpa galau sama sekali hingga sekarang? Tentu tidak. Kenyataan tidaklah seindah harapan.

Dalam tulisan “A Brief History of Logical Levels”, Robert Dilts menuliskan demikian:
“Identity level processes involve people's sense of role and mission with respect to their vision and the larger systems of which they are members. Identity can be viewed as being composed of two complementary aspects: the ego and the soul. The ego is oriented toward survival, recognition and ambition. The soul is oriented toward purpose, contribution and mission. Charisma, passion and presence emerge naturally when these two forces are aligned.”

Identitas seseorang terdiri dari 2 aspek yang saling melengkapi, yakni aspek kepentingan ego dan aspek panggilan jiwa. Di sisi kepentingan ego ada ambisi untuk bertahan hidup, menang, dikenal dan dihargai. Di sisi lain ada panggilan jiwa untuk berkontribusi dan mencapai tujuan sebagai misi hidup. Di awal-awal METAMIND berdiri, saya iri dengan para trainer yang baru muncul tapi langsung terkenal. Kelas-kelas mereka selalu banyak pesertanya, wah kebayang popularitas dan jumlah omzetnya. Ego diri mulai terusik. Silau oleh ketenaran dan ingin ikut tenar juga. Ego untuk menang, ego untuk terkenal lengkap dengan status dan jabatan. Lalu ketika tidak berhasil menandingi trainer-trainer lain tersebut, mulai merasa gagal, tidak berharga dan merasa ‘ga gue banget’. Mata selalu melihat ke arah luar, yang mana yang cocok buat saya, yang mana jati diri saya sebenarnya. Padahal yang saya jadikan tolok ukur adalah orang lain, para trainer beken itu. Itulah awal ‘pencarian diri’ saya, sebuah pembandingan dengan orang lain, dan karena tidak sama dengan mereka, lalu merasa gagal pula menjadi diri sendiri. Lalu bertanya-tanya, siapa saya.

Kalau memang ambisi saya demikian besarnya untuk mengejar semua itu, apa yang menghambat saya untuk maju? Apa yang membuat saya galau?

Di paragraph berbeda Dilts menuliskan demikian:
“There is another level that can best be referred to as a spiritual level. This level has to do with people's perceptions of the larger systems to which they belong and within which they participate-we could call this level one of "trans-mission." These perceptions relate to a person's sense of for whom or for what their actions are directed, providing a sense of vision, meaning and purpose for their actions, capabilities, beliefs and role identity.”

Di sisi lain ada aspek jiwa. Ada panggilan jiwa untuk lebih memikirkan orang lain, untuk melakukan sesuatu bagi orang banyak lebih daripada dirinya sendiri. Panggilan jiwa yang tidak selaras dengan aspek ego menyebabkan konflik diri yang menimbulkan galau, tidak tenang dan tidak ada kedamaian dalam hidup. Satu sisi ingin mengutamakan kepentingan diri sendiri untuk menang, banyak uang, punya status, punya title, punya jabatan. Tapi di sisi lain ingin berkontribusi, berbagi sama rata.

Pada awal perjalanan di bidang people development ini, saya dikenalkan tentang pentingnya identitas diri ini. Sepanjang perjalanan, saya mengamati adanya dualism dalam pengakuan peran diri yang disebut sebagai identitas ini. Ada yang begitu penting untuk diakui, namun ada juga yang cuek saja dan merasa ga penting untuk tampil. Menariknya, ada yang merasa tidak perlu dihargai tapi tersinggung berat saat pendapatnya tidak diterima. Atau ada juga yang merasa sudah berkontribusi demikian banyak sehingga pantas untuk mengatur hidup orang-orang yang telah menerima kontribusinya itu. Ada yang merasa telah melakukan sesuatu demi orang lain, tapi sebenarnya demi kepuasan batin sendiri karena telah melakukan sesuatu buat orang lain. Paradoks kehidupan. Lalu bagaimana membedakan keduanya?

Tulisan Dilts di atas menjelaskan apa yang terjadi. Saat coaching, ada yang sangat melekat dengan ambisi ego untuk berhasil, menjadi juara atau menempati jabatan setinggi-tingginya. Sebagai coach, saya selalu mengingatkan tentang arti dari semua yang ingin diraihnya. Apa artinya bagimu menjadi seorang juara? Apa maknanya buatmu ketika berhasil? Seringkali menemui kebuntuan dan butuh waktu panjang untuk menemukan makna yang lebih mendalam atas sebuah identitas yang diinginkan.  Saat elaborasi apa pentingnya, mayoritas adalah demi kebutuhan eksternal - kebutuhan dianggap berhasil, kebutuhan dinilai bagus, ingin dihargai orang lain, termasuk untuk mendapatkan kasih sayang. Sebuah identitas yang garing. Kosong. Demikian juga perusahaan/organisasi. Membangun citra diri tanpa adanya nilai-nilai kemanusiaan hanya akan didekati oleh orang-orang dengan kebutuhan yang sama. Komunitas yang ingin menjadi top one, tentu akan diikuti pula oleh anggota-anggota yang juga ingin menjadi juara. Padahal posisi juara dan top one itu hanya satu, akhirnya saling bersikutan sesama anggota. Perang saudara, ketuanya perlu kerja keras membuat aturan sana sini. Hingga akhirnya komunitas menjadi penuh aturan, tidak ada lagi kebersamaan.

Bila ingin bertahan lama (sustain), setiap orang dan juga perusahan/organisasi perlu memiliki nilai-nilai spiritual di dalamnya. Spiritual di sini bukan merujuk pada nilai-nilai religi, namun tentang panggilan untuk melakukan sesuatu bagi system yang lebih besar, bagi masyarakat, bagi lingkungan, bagi alam sekitar. Ada nilai-nilai sosial dan keseimbangan ekosistem. Bagi sebagian orang yang masih besar dengan kepentingan ego, hal ini akan ditertawai. Karena perusahaan dibangun untuk mencari uang, bukan lembaga sosial. Well.. di situlah letak wisdom dari seorang pemimpin. Kebijaksanaan untuk mampu meletakkan nilai ekonomi, nilai sosial dan ekosistem secara seimbang sesuai dengan cita-cita bersama.

Semoga dengan penjelasan ini kita mulai bisa membedakan, mana yang kepentingan ego dan mana yang merupakan panggilan jiwa. Agar kita mulai bisa menimbang-nimbang bobot dan potensi konflik yang terjadi, atau potensi kedamaian yang bisa kita bangun bersamaan dengan jati diri kita. Saya yakin sebagian besar orang akan mengatakan bahwa panggilan jiwa lebih penting daripada kepentingan ego. Namun pada faktanya, mampukah melepaskan diri dari kemelekatan gelar, title, status dan jabatan yang terus melekat demi mengangkat nilai jual diri di depan orang lain?

Bagi yang tertarik dengan Logical levels-nya Robert Dilts bisa pelajari dengan klik link ini:
http://www.nlpu.com/Articles/LevelsSummary.htm

Jakarta, 16 Februari 2021
Mariani
METAMIND
Meta Coach

About the Author

Mariani Ng

Mariani Ng

She is a Founder of PT. METAMIND Tata Cendekia and the first woman in ASIA who is certified and licensed trainer of  NLP – NS trainings to provide International Certification of Meta-NLP Practitioner, International Certification of Master Practitioner.

Click here for detail

Why METAMIND?  read