Silo Mentality

Written by Mariani Ng Posted in Mariani Ng on Wednesday, 05 October 2022.

Aslinya kata ‘silo’ adalah wadah penyimpanan hasil pertanian. Ada yang berupa kantong, ada yang berupa bunker, dan kebanyakan berupa tangki besar dari baja. Coba googling cari gambar 'silo', yang muncul adalah tabung-tabung besar kokoh di tengah ladang, bahkan berderet panjang berkelompok. Berguna untuk menyimpan gandum, hasil-hasil curah pertanian dan juga ada untuk bahan semen. Intinya, untuk menyimpan.

Di perusahaan/organisasi, ada istilah Silo Mentality. Yang ini bukan berbentuk tangki atau tabung, tapi tentang sikap mental yang menyimpan informasi untuk diri sendiri atau divisi masing-masing. Akhirnya arus informasi jadi tersendat, tidak ada transparansi kerja. Orang lain atau divisi lain tidak tahu apa yang sedang terjadi di divisi lain walaupun berada dalam satu perusahaan/organisasi yang sama. Ada yang saling menunggu, no action sama sekali. Adapula yang pekerjaannya jadi tumpang tindih, satu pekerjaan yang sama dilakukan oleh 2 orang. Pekerjaan tidak saling berkesinambungan. Kerja masing-masing. Tidak ada teamwork, kolaborasi, partnership dan lain sejenisnya. Sulit bekerjasama, saling lempar tanggung jawab.

Siapa yang dirugikan? Tentu saja orang yang saling terkait. Dalam perusahaan/organisasi, selain menimbulkan kerugian secara material (waktu dan uang), hal ini juga merugikan psikis orang-orang yang terlibat, iklim kerja. Perasaan dicuekin atau diasingkan karena tidak mendapatkan informasi yang jelas. Politik kantor karena umumnya jadi kompetisi antar divisi. Di satu sisi ada yang merasa superior dan dominan karena merasa lebih banyak tahu, lebih berperan penting. Di sisi lain ada yang sangat kesal karena menunggu data yang belum disampaikan. Belum lagi ada yang inferior karena merasa diri tidak layak. Dan seterusnya, dan seterusnya. Ibarat tangki baja yang berdiri kokoh menyimpan banyak gandum, semua pihak perlu datang menghampiri, bersikap baik padanya agar bisa mendapatkan curahan gandum itu. Apalagi bila tangki baja itu model kuno, tidak semua orang tahu bagaimana cara membuka keran curahannya itu. Perlu lagi mendekati orang-orang tertentu yang tahu caranya. Birokrasi.

Dalam tulisan ini, saya membahas apa yang menyebabkan Silo Mentality ditinjau dari profil individunya, berdasarkan pengalaman melakukan coaching di berbagai perusahaan/organisasi. Ada yang mengeluh keras, protes. Adapula yang sedang terjadi tanpa mereka sadari.

Apa yang sekiranya menimbulkan Silo Mentality itu?
Berikut beberapa analisa saya, yang semuanya dimulai oleh perorangan (individu), dilihat dari sudut pandang Neuro-Semantics dan NLP.

1. Gaya komunikasi
Pernah kirim pesan ke seseorang tapi tidak direspon sama sekali? Kesal? Ada orang yang tidak suka merespon secara langsung. Saat menerima pesan via whatsapp ataupun email, orang ini hanya akan baca saja, lalu merespon dalam pikirannya sendiri. Respon itu bisa berupa ‘ok’ tanda setuju, ada juga yang memikirkan sendiri solusinya atau bahkan ada pula yang mencemoohkan. Semua proses respon itu terjadi hanya dalam benak pikirannya sendiri. Orang lain, apalagi yang mengirim pesan, tentu tidak tahu isi pikirannya itu.

2. Budaya senioritas/otoritas
Bila yang mengirim pesan menganggap si penerima pesan adalah senior atau figur otoritas, tentu tidak berani follow-up. Diam saja sambil berharap akan ada respon nantinya. Bilamana sempat bertemu, mungkin si senior ini akan sampaikan responnya langsung. Bisa jadi juga si senior ini lupa, akhirnya jawaban yang ditunggu tak kunjung tiba. Si pengirim pesan hanya berani menggerutu sendiri sambil bertanya sana sini, mencari jawaban, ikhtiar.

3. Percaya diri
Si senior juga bisa kurang percaya diri. Ketika ada hal-hal yang tidak diketahui solusinya dan yang bersangkutan tidak cukup percaya diri atau arogan untuk mengakuinya, maka yang bersangkutan akan diam saja tanpa berusaha minta bantuan. Diam saja daripada malu. Akhirnya informasi hanya tertahan di tangan si senior tanpa pengirim pesan tahu apa yang terjadi. Di sisi lain, si pengirim pesan juga kurang percaya diri untuk terus follow-up. Awalnya hanya sesederhana itu, yang kemudian terus terjadi dan berakumulasi menjadi satu kebiasaan untuk tidak membeberkan apa adanya.

Aspek percaya diri ini juga terjadi pada mereka yang tidak percaya diri takut kalah dari orang lain. Sehingga tidak mau mengajarkan dan menahan beberapa informasi, agar kelihatan pintar sendiri.

4. Keterbukaan
Ada orang yang terbuka menceritakan semua hal ke orang lain. Ada pula yang tertutup, berpikir untuk apa menceritakan ke orang lain, memangnya orang lain ingin tahu? Apalagi diiringi dengan ketidakpekaan yang akan dibahas di point berikut ini.

5. Kepekaan
Seseorang yang peka akan tahu apa kebutuhan orang lain, demikian juga sebaliknya. Hal ini saya temukan terutama pada anak-anak muda yang asyik dengan dunianya sendiri di bidang teknologi. Mereka asyik kerja sendiri. Saat ditanya, mereka jawab sesuai pertanyaan. Saat tidak ditanya, maka tidak terpikirkan untuk memberitahu. Hanya sesederhana itu. Si penanya kemudian menjadi kesal, menganggap bahwa si perima pesan sengaja menahan informasi.

6. Ego
Hal-hal di atas awalnya sederhana, namun kemudian muncul persepsi judgemental satu sama lain. Terjadilah benturan ego. Keras hati, keras kepala, mengundang kompetisi.
‘Saya tidak mau beritahu, lihat kamu bisa apa!!’
‘Biarin saja dibilang begitu, saya akan tunjukkan nanti siapa yang benar!!’
Lalu mulai mencari pendukung dengan mengajak tim-nya melakukan yang sama.

7. Apatis
Bilamana aspek-aspek di atas adalah penyebab, maka apatis adalah akibat dari berbagai keadaan di atas. Setiap keadaan selalu mencari keseimbangannya sendiri, termasuk ketika seseorang berinteraksi dengan silo mentality di perusahaan/organisasi, bahkan di rumah sekalipun. Bila orang tersebut tidak mampu menghadapi ataupun merubah keadaan di atas, maka pilihan berikutnya adalah apatis. Belajar cuek. Tidak peduli. Tanpa sadar, hal ini ikut memupuk silo mentality tumbuh semakin subur di lingkungannya.

Hukum sebab-akibat, tanpa bisa memisahkan lagi mana yang menjadi penyebab dan mana yang menjadi akibat. Semua aspek di atas bisa jadi saling menyebabkan, dan sekaligus saling menjadi akibat. Akhirnya jadi saling menghindar, saling lempar tanggung jawab, memisahkan dengan jelas siapa dan apa. Kaku. Masing-masing menjaga kepentingan masing-masing, elit dan eksklusif.

Pernah alami? Jangan-jangan malah kita sendiri si tangki baja itu. Introspeksi yuk.

Jakarta, 5 Oktober 2022
Mariani
METAMIND
Meta Coach

About the Author

Mariani Ng

Mariani Ng

She is a Founder of PT. METAMIND Tata Cendekia and the first woman in ASIA who is certified and licensed trainer of  NLP – NS trainings to provide International Certification of Meta-NLP Practitioner, International Certification of Master Practitioner.

Click here for detail

Why METAMIND?  read