Apakah Saya Mau Berpikir? (1)
Apakah Saya Mau Berpikir? (1)
- • Mariani Ng - 04 August 2024
Anak yang baru lahir penuh rasa ingin tahu atas semua hal yang ada di sekelilingnya. Mulai dari belajar mengenali suara dan wajah, belajar apa yang dilakukan orang lain, tangan menyentuh semua benda yang bisa mereka jangkau dan masukkan ke mulut (begitu cara mereka mengenalinya) – hingga berjalan merangkak dan melangkah. Saat sudah bisa bertanya, mereka mulai bertanya.
“Itu apa?”
“Awan”
“Awan itu apa?”
“Dari mana datangnya awan?”
Dan selanjutnya, dan selanjutnya.
Mereka belajar berpikir. Mengamati, analisa dan lambat laun berpikir kritis. Ada orang tua yang akan menjawab dengan sabar satu per satu. Ada pula orang tua yang berusaha menjawab namun merasa kewalahan sehingga jawaban yang diberikan singkat dan terburu-buru. Ada yang tidak menjawab sama sekali. Semua jawaban yang diberikan akan mengisi pengetahuan si anak, namun cara menjawab yang di-ekspresi-kan oleh orangtua akan mempengaruhi cara berpikirnya.
Respon sabar penuh kasih sayang, men-stimulus anak untuk terus bertanya dan bertanya, karena ada rasa kasih yang memberikan keteduhan (secure) di samping rasa ingin tahu yang terpenuhi. Apalagi kalau dijelaskan lengkap dengan narasi apa dan mengapa. Dari sebuah pengamatan sederhana, anak diajak untuk memahami narasi berlogika yang mengembangkan daya nalarnya, sambil lambat laun ikut analisa. Mengapa begini mengapa begitu. Semakin detil penjelasan, anak juga belajar detil.
Anak mudah menangkap ekspresi orang tuanya walau tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata. Bila anak menangkap ekspresi kewalahan dari orang tua yang menjawab, plus suara yang mulai kelihatan gemas, itu tanda tidak aman. Mereka akan berhati-hati untuk bertanya lagi. Termasuk pula jawaban yang diberikan. Singkat, padat. Tidaklah heran si anak kemudian belajar secara global saja, mudah-mudahan tidak plus perasaan waspada.
Bisa dibayangkan bila kedua orang tuanya sibuk. Tidak menjawab sama sekali. Mungkin si anak pernah sekali bertanya tapi dijawab dengan cara yang tidak meneduhkan. Atau bahkan si anak sama sekali tidak punya kesempatan bertanya. Akhirnya si anak hanya memendam rasa ingin tahu itu sendiri, dan akhirnya malas berpikir.
20an tahun lalu, saya pernah buka kursus matematika untuk anak usia 3-5 tahun. Sesuai dengan usianya, kami mengajarkan tentang pengamatan (observasi), logika dan analisa dengan permainan dan buku warna-warni. Feedback yang kami terima dari para orang tua cukup mengagetkan. 50% menyampaikan bahwa anak mereka tambah cerewet, banyak tanya ini itu dan orang tua merasa kewalahan. Mereka mengeluhkan keadaan itu!!
Saya berharap orang tua sekarang sudah lebih cerdas mengembangkan putra-putri tercinta. Apa yang mereka lakukan saat ini secara langsung mempengaruhi proses berpikir satu generasi di masa depan.
Curug Cilember, Puncak.
2 Agustus 2024
Mariani Ng
METAMIND
Mariani Ng
Recent Posts
Apakah Mereka Boleh Berpikir?
- • Mariani Ng - 28 August 2024
7 Ketrampilan Dasar Meta Coach
- • Mariani Ng - 20 August 2024
Untuk Apa Neuro Semantics (NS) – NLP Diciptakan?
- • Mariani Ng - 20 August 2024
Apa itu NLP?
- • Mariani Ng - 20 August 2024
Agar Komunikasi Lancar
- • Mariani Ng - 20 August 2024
Popular Posts
Apa itu Meta Coach?
- • Mariani Ng - 03 April 2024
Apakah Saya Mau Berpikir? (1)
- • Mariani Ng - 04 August 2024
10 Tahun Mendatang
- • Mariani Ng - 19 August 2024
Apa Itu Neuro-Semantics?
- • Mariani Ng - 03 April 2024
Apakah Saya Mau Berpikir? (2)
- • Mariani Ng - 20 August 2024