Pohon dan Batang Kayu

Pohon dan Batang Kayu

  • Mariani Ng - 19 August 2024

Ada sebatang pohon tua, yang tidak berdaun dan sejenak terlihat kering kerontang. Di sampingnya ada sebatang kayu, tergeletak tenang di atas tanah, tak bergeming.

Apa yang berbeda?

Yang jelas pohon setua apapun tetaplah pohon yang masih hidup. Sedangkan batang kayu hanyalah bekas pohon yang sudah tercabut dari tanah alias tidak lagi punya kehidupan.

Sebatang pohon, terutama pohon besar, punya batang kayu. Tapi batang kayu tidak pernah bisa lagi menjadi batang pohon. Ketika masih berakar, pohon menghisap air dan mineral melalui akarnya lalu melakukan fotosintesa di daun untuk makan dan bertahan hidup. Ketika musim kemarau, daun-daun ikut kering, namun akar yang kuat akan semakin menjulurkan akarnya mencari air agar mampu bertahan hidup. Di negara 4 musim, pohon-pohon malah sengaja menggugurkan daun-daunnya demi bertahan hidup sepanjang musim salju. Lalu kemudian bersemi kembali dan tumbuh menebarkan keindahannya. Gugur dan optimis akan tumbuh kembali.

Tidak demikian dengan batang kayu.  Mau musim kering, musim dingin ataupun musim salju tetaplah hanya seonggok kayu yang tidak lagi punya kehidupan.

Apakah dua-duanya bisa bermanfaat?

Bisa. Yang berbeda adalah bahwa pohon bebas bermanfaat sesuai dengan kemanfaatannya. Berdaun rindang untuk keteduhan, berbunga harum menyegarkan ataupun berbuah untuk dimanfaatkan. Sedangkan batang kayu sangat tergantung pada siapa yang menemukan dan bagaimana mau dimanfaatkan. Kalau bertemu dengan pejalan kaki, hanya buat tempat duduk beristirahat sejenak lalu pergi lagi. Pengukir akan memilih batang kayu yang cocok untuk diukir, bisa jadi ukiran yang indah dan mahal. Ada yang dijadikan kayu penopang rumah. Ada yang menjadi kayu bakar. Bahkan bisa juga menyebabkan orang tersandung bila tidak berhati-hati.

Dua paradoks yang berasal dari satu asal yang sama, yang dulunya sama-sama hidup. Sementara satu tergeletak di atas tanah terlihat tidur begitu enaknya sedang pohon di sampingnya berdiri dan bertahan dalam segala cuaca. Justru yang kelihatan enak malah sebenarnya tidak lagi bertumbuh. Sementara untuk bertumbuh butuh ketegaran dan bertahan dalam gugur daun serta kekeringan.

Bagaimana dengan diri kita?

Bila dianalogikan, apakah perjalanan hidup kita analog dengan pohon atau batang kayu?

Saya teringat pada satu kalimat kutipan bahwa ‘banyak orang sebenarnya sudah meninggal pada usia 20-an tapi baru dimakamkan pada usia 60-an’. Bukankah itu sama saja dengan menjadi batang kayu sejak usia 20-an? Bagaimana ini bisa terjadi?

Sejak dilahirkan, kita penuh dengan rasa ingin tahu yang besar. Apa ini apa itu, mengapa begini mengapa begitu. Dari yang awalnya hanya bisa menangis sekarang bisa lancar bicara dan bernyanyi. Dari yang awalnya belum bisa berjalan hingga bisa lari dan menari. Awal kehidupan yang penuh ide dan kreativitas kemudian menjadi berlebihan ketika tidak ditangani dengan baik, sama seperti pohon yang terlalu rimbun dan tidak dipangkas dengan rapi. Daun-daun yang rimbun akhirnya saling bergesekan, daun pisang yang kelihatan rapi berjejer pun hancur diterpa angin karena lembar daun lebih besar dari rangkanya, pohon yang subur rusak diserang hama karena tidak dijaga dengan baik. 

Demikian juga manusia.

Semakin banyak tahu malah seringkali menjadi sok tahu, segala sesuatu dibingkai dalam teori dan dalil atas nama logika intelektual dan pengalaman. Sesuatu yang sederhana menjadi kompleks dalam persepsi keserbatahuan yang sebenarnya justru menjadi penghantar menuju ketidaktahuan. Teringat ketika sekolah dulu pernah tertawa bergurau ada teman yang ber-IQ jongkok tapi ada juga yang IQ-nya ketinggian sampai mentok dan jongkok kembali. Dunia ini sudah terlalu banyak orang berpendidikan, banyak buku yang dibaca, ‘googling’ dan ‘surfing’, instant dan jelas. Justru di balik itu, tahu yang berlebihan membuat diri tersesat dalam rimba pengetahuan dan kemelekatan. Ibarat pohon yang sudah terlalu rimbun tapi tidak mau menggugurkan satu lembar daunpun. Alhasil rimbun daun saling bergesekan. Akar kalah cepat menyerap air dan mineral untuk suplai batang dahan dan daun yang rimbun berdesakan. Sampai kemudian terpaksa rontok dan mati sendiri ... tetap sebagai kayu, tapi tidak lagi berakar.

Di perusahaan, kita bisa temui banyak orang yang demikian.

Sangat tahu, hingga tidak bisa diberitahu.

Sangat pintar, hingga tidak lagi mendengar.

Ketika perusahaan tidak mampu bergeming karena seluruh karya dan karsa hanya berada dalam rimba orang-orang yang berpengetahuan dan pengalaman semu, yang tidak lagi sesuai jaman, keras dan kaku..

Kalau saya ditanya ingin jadi pohon atau sebatang kayu, pasti saya jawab pohon. Biarpun tidak santai tidur ria .... yang penting masih hidup dan ada kehidupan. Pohon rimbun atau pohon kering? Yang penting masih berakar. Rimbun ataupun kering tergantung pada musim. Justru aneh kalau di musim kering sebuah pohon bertahan untuk rimbun. Atau tetap kering di saat musim semi dan hujan. Kekuatan tidak berada di daun. Walaupun daun adalah tempat berfotosintesa, tetaplah kekuatan bersumber dari akar. 

Bila dalam uraian di atas saya analogikan daun adalah karya dan akar adalah pola pikir yang menghasilkan karakter, maka batang adalah tubuh secara fisik. Sekarang banyak yang belum ber’akar’ tapi sudah memikirkan daun.  

Kalau sudah demikian, lebih baik banyak pohon atau batang kayu?

Kalau memang akarnya sudah rapuh, lebih baik jadi batang kayu saja. Daripada tumbang dan membahayakan alam sekitarnya. Mudah2an kayu yang masih bisa dimanfaatkan. Menjadi keindahan karya ukir dengan serat kayunya yang unik. Atau kayu yang masih bagus untuk menjadi penopang rumah. 

Mari kita analogikan dengan diri kita sendiri.

Ketika pohon perlu berdiri tegak menahan angin dan panas terik, batang kayu bisa geletak tidur dengan santainya di tanah. Apa yang kita pilih sebagai analog hidup kita? Pohon atau batang kayu?

The Author
Mariani Ng